Senin, 05 Januari 2015

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA PADA KASUS MESUJI

 
Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia,bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Padagilirannya, hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagaianugerah Tuhan Yang Maha Esa, di mana hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hakdan kewajiban-kewajiban yang lain.
Umumnya, kita, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam (sebagai akibat dari pola pendidikan ala Barat yang dikembangkan semenjak jaman penjajahanBelanda dan diteruskan di era republik pasca proklamasi kemerdekaan hingga kini)
Padahal, kalau kita mau bicara jujur serta mengaca pada sejarah, sesungguhnyasemenjak Nabi Muhammad S.A.W. memperoleh kenabiannya (abad ke-7 Masehi, atau sekiralima ratus tahun/lima abad sebelum Magna Charta lahir), sudah dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan ditegakkannya HAM dalam Islam. Atas dasar ini, tidaklah berlebihankiranya bila sesungguhnya konsepsi HAM dalam Islam telah lebih dahulu lahir tinimbang konsepsi HAM versi Barat. Bahkan secara formulatif, konsepsi HAM dalam Islam relatiflebih lengkap daripada konsepsi HAM universal.
Hak-hak dasar yang terdapat dalam HAM menurut Islam ialah :
(1) Hak Hidup;
(2)Hak-hak Milik;
(3) Hak Perlindungan Kehormatan;
(4) Hak Keamanan dan KesucianKehidupan Pribadi;
(5) Hak Keamanan Kemerdekaan Pribadi;
(6) Hak Perlindungan dariHukuman Penjara yang Sewenang-wenang;
(7) Hak untuk Memprotes Kelaliman (Tirani);
(8)Hak Kebebasan Ekspresi;
(9) Hak Kebebasan Hati Nurani dan Keyakinan;
(10) Hak Kebebasan Berserikat;
(11) Hak Kebebasan Berpindah;
(12) Hak Persamaan Hak dalamHukum;
(13) Hak Mendapatkan Keadilan;
(14) Hak Mendapatkan Kebutuhan Dasar HidupManusia; dan
 (15) Hak Mendapatkan Pendidikan.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompokorang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut Hak AsasiManusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999tentang HAM).
Salah satu contoh pelanggaran HAM berat yang sekarang ini banyak di bicarakan olehkhalayak umum yaitu dugaan adanya pembantaian di Mesuji Sumatera Selatan. Dari tahun ketahun Mesuji selalu bersimbah darah meski dalam pembukaan UUD 1945 telah diamanatkan bahwa pemerintah negara Indonesia wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam kenyataannya pemerintah belum mampu melindungi tumpah darah Indonesia. Hal ini bisa kita lihat sekurangnya dalam kasus yang menimpa warga Desa Sodong Kec. Mesuji Propinsi Sumatera Selatan, Desa Sritanjung,Kagungan Dalam dan Nipah Kuning Kabupaten Mesuji dan Desa Talang Batu Kab. MesujiPropinsi Lampung. Warga di ketiga lokasi ini telah menjadi korban perampasan Hak AtasTanah dan ketidakadilan perlakuan oleh korporasi dan aparat penegak hukum. Bahkan tindakan tak beradab dan keji menimpa warga desa.
Kasus yang mencuat saat ini di Mesuji terdapat tiga kasus, walau sesungguhnya masih ada kasus yang tinggal menunggu bom waktu. Ketiga kasus tersebut,
pertama adalah kasus pengelolaan lahan milik adat di areal kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45 WayBuaya tepatnya di Talang Pelita Jaya Desa Gunung Batu telah mencuat pada februari 2006dan puncaknya berujung kematian Made Asta pada 6 Nopember 2010.
Kedua, kasus sengketa tanah lahan sawit seluas 1533 ha antara warga Desa Sei Sodong dengan PT. Sumber WangiAlam yang berakhir dengan tragedi pembantaian terhadap dua orang petani tak bersenjataditengah kebun sawit pada 21 April 2011. Dan ketiga kasus tanah lahan sawit seluas 17 ribuha antara warga Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan Nipah kuning dengan PT. BaratSelatan Makmur Investindo yang puncaknya berujung kematian Zaini pada 10 Nopember2011.
Tindakan biadab dan keji ini tidak pernah oleh negara disebut sebagai pelanggaran HAM Berat. Malah ditengah situasi duka, aparat masih menjalankan upaya kriminalisasi kepada warga yang menjadi korban walau masyarakat sejak awal telah mengadu kepadaPolisi dan pemerintah setempat. Demikian pula terhadap Komnas HAM, warga Desa Sritanjung melapor kepada Komnas HAM sejak Baharudin Lopa masih menjabat hingga menjelang satu hari sebelum terjadi penembakan oleh Brimob. Kasus di Desa Sodong telah pula di koordinasikan sejak Mei 2011 kepada Komnas HAM.
Dari ketiga kasus ini kami melihat bahwa pemicu konflik terkait perkebunan sawit adalah karena pihak perkebunan sawit telah merampas dan menguasai tanah warga dalamwaktu yang lama mulai 10 – 17 tahun. Dan warga tidak satu rupiah-pun mendapatkan manfaat dari hasil kebun sawit itu.
Tindakan sewenang-wenang perusahaan ini selalu berlindung atas UU perkebunanNomor 18 tahun 2004. Dimana UU ini telah memberikan legalitas yang sangat kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat.Pasal-pasal dalam UU ini dengan jelas memberikan ruang yang besar kepada perusahaan perkebunan baik swasta maupun pemerintah untuk terus melakukan tindakan kekerasan dankriminalisasi terhadap petani2.
Sedangkan pemicu konflik diareal HTI Reg 45 Way Buaya adalah karena pemerintahtelah memperluas luas kawasan hutan dimana sebagian lahan merupakan tanah adat/ulayat.Tuntutan warga Desa Gunung Batu atas lahan seluas 7 ribu ha, hanya dikabulkan 2300 hauntuk kemudian di enclave dari kawasan HTI. Dan ketika warga adat memberikan lahanuntuk dikelola kepada warga lokal pihak perusahaan dan aparat telah menstigma pengelolasebagai perambah hutan.
Menjadi pertanyaan besar karena keterlibatan aparat polisi dalam semua kasus justerubukan untuk meredam konflik melainkan melindungi perusahaan. Jangan heran jikaorganisasi masyarakat sipil mengkatagorikannya sebagai Centeng Perusahaan. Mengapademikian karena polisi bukan menjadi pangayom atau sekurangnya hadir disaat ketenganganterjadi, akan tetapi polisi memang telah bermarkas di areal kebun sawit seperti di dapati diPT. BMSI. Kondisi inilah yang telah memperumit situasi. Dan polisi pun dengan mudahmemuntahkan peluru kearah masyarakat tanpa mengikuti SOP.
Bukan hanya polisi, pihak Badan Pertanahan juga memiliki andil sangat besar dalamkasus-kasus perkebunan sawit. Seharunya departemen ini ketika akan menerbitkan HGUwajib berpegang kukuh pada prinsip clean dan clear. Tentu harus pula melakukanpengawasan kelokasi terhadap areal HGU. Dan memberikan respon cepat ketika terdapatpengaduan warga, bukan terus sibuk menerbitkan HGU dan mengabaikan sengketa agraria.
Demikian pula Dinas Kehutanan. Seharusnya cepat mencabut izin perusahaan yangdengan terang dan jelas telah menelantarkan lahan dan menyalahgunakan peruntukan lahan.Seperti dilakukan oleh Silva Inhutani. Lahan yang seharusnya ditanami kayu, malah ditanamisingkong dan nenas. Semestinya pula lahan-lahan yang diterlantarkan tersebut bisadiserahkan kepada warga untuk dikelola dengan mekanisme hutan desa atau mekanismelainya sehingga fungsi hutan tetap terjaga dan masyarakat mendapat manfaat.
Berdasarkan advokasi WALHI, WANACALA dan LBH Bandar Lampung pada tahun2006 terhadap kasus Register 45, Penerimaan laporan dan investigasi kasus di Desa Sodongoleh WALHI, YLBHI, Sawit Watch dan KpSHK pada Juli – Nopember 2011 dan investigasikasus Desa Sritanjung an Kagungan Dalamm Kabupaten Mesuji pada 11 Nopember2011kami berkesimpulan bahwa wilayah Mesuji merupakan Ladang Pelanggaran Ham Beratterhadap petani dimana kasus juga terjadi secara beruntun dari tahun ketahun dan telah pulamemakan korban jiwa yang cukup besar.
Pemerintah menginginkan penanganan kasus di Mesuji baik di Sumatera Selatan maupun Lampung berlangsung secara menyeluruh dengan membentuk tim yang akan menyampaikan rekomendasi agar tidak terjadi peristiwa serupa,kata Menko Polhukam.
Menko Polhukam Djoko Suyanto dalam keterangan pers di Kantor Presiden Jakarta,Jumat sore mengatakan tim yang dibentuk pemerintah diketuai oleh Wakil Menteri Hukum dan Ham Denny Indrayana diisi oleh perwakilan dari sejumlah pemangku kepentingan, tokohmasyarakat dan juga perwakilan perguruan tinggi.
"Ketua tim Denny Indrayana, melibatkan unsur terkait seperti Komnas HAM, karena Komnas HAM memiliki gambaran yang tepat baik di Mesuji Sumsel dan Mesuji Lampung.Berikutnya adalah kepolisian, miliki data bagaimana penanganan di Mesuji Sumsel, danMesuji Lampung, dari Kantor Menko Polhukam juga, dan melibatkan masyarakat dan PemdaLampung dan Sumsel. Pak Denny juga diberi keleluasaan bila menginginkan ada dariperguruan tinggi," katanya.
Djoko mengatakan penanganan kasus baik di Mesuji Lampung maupun Mesuji Sumselakan dibagi dalam dua langkah.

Langkah yang pertama, dilakukan penelaahan dan pemisahan antara peristiwa yangterjadi di Mesuji Lampung dan Mesuji Sumatera Selatan termasuk masing-masing bagaimana kejadiannya , latar belakang permasalahan dan korban serta pelakunya.
Langkah yang kedua adalah proses hukum atas masing-masing kasus sesuai dengankondisi yang ada. Semoga kasus –kasus yang merenggut HAM dapat terselasaikan, sehingga masyarakatIndonesia dapat hidup dengan tentaram, saling mencintai satu sama lain.